Tarian
menjadi sebuah simbol dari sebuah kota adalah sebuah gagasan unik dimana para
pelaku seni di dalamna meruppakan hasil dari wujud dari kebanggaan tiap daerah.
Seiring berjalannya waktu dengan
upaya pencarian identitas daerah yang mulai dilakukan pemerintah daerah sejak
awal tahun 70-an. Gandrung menjadi kesenian masyarakat Using yang dianggap
sebagai masyarakat asli Banyuwangi menjadi pilihan yang paling gampang dari
pada kesenian-kesenian lainnya. Aalasan-alasan lain yaitu mengenai penampilan
dan peran gandrung lebih menarik dibanding angklung caruk yang seluruh
pemainnya laki-laki, gandrung juga lebih populer dibanding kesenian-kesenian
lainnya. Maka jadilah gandrung yang awalnya hanya dikenal di lingkungan
masyarakat petani, perkebunan, nelayan yang erat dengan ritual, ditarik oleh
negara menjadi identitas daerah yang sepenuhnya profan.
Gandrung tidak bisa lepas dari Banyuwangi mengingat wilayah
ini merupakan multi etnik. Di dalam budaya yang heterogen, wilayahnya cenderung
diserang oleh kebudayaan baru yang masuk kedalamnya. Hal ini menjadikan
Gandrung berada dalam posisi tarik ulur dan diperdebatkan oleh kekuatan sekitarnya.
Hal yang merupakan kekuatan tidak hanya dalam pengertian negara atau pemerintah
daerah, melainkan juga wacana dominan dan nilai-nilai yang disepakati
masyarakat dari berbagai presepsi dan analisanya. Dalam hal ini agamawan dengan
teksnya sendiri soal ukuran-ukuran moral, budayawan dengan teksnya sendiri
yaitu gandrung sebagai warisan sejarah yang luhur, negara dengan teksnya
sendiri gandrung sebagai alat negara, semuanya berebut dan berpilin dengan
kekuatannya masing-masing.
Perdebatan ini berjalan terus walau tidak secara terbuka,
tetapi menimbulkan gonjang ganjing di lingkup masyarakat. Kasus dibongkarnya
patung gandrung di pelabuhan Ketapang atas permintaan kaum agamawan Ketapang
menunjukkan hal itu. Dalam kasus ini melibatkan juga anggota DPRD yang harus
turun meninjau dan menindaklanjuti pengaduan keberatan masyarakat atas adanya
patung gandrung yang berada tepat di depan masjid walau sebenarnya masih dalam
area pelabuhan. Namun peran dominan negara dan wacana identitas daerah
mengalahkan wacana-wacana kontra. Beberapa perdebatan dan pergolakan muncul
dari berbagai pihak yang saling menginginkan untuk kepentingan masing-masing
golongan.
Di tengah-tengah polemik gandrung sebagai identitas
Banyuwangi, SK bupati nomor 147 Tahun 2003 yang menetapkan tari jejer gandrung
sebagai tari selamat datang di kabupaten Banyuwangi. Dengan demikian pemihakan
terhadap gandrung yang bersifat politis menimbulkan akibat politis pula.
Akibatnya ketika didirikan pusat latihan gandrung di desa Kemiren, program ini
hanya berlangsung dua tahun karena pada tahun berikutnya anggarannya tidak
disetujui oleh DPRD. Hal ini menimbulkan pro kontra tersendiri di kalangan
elite pemerintahan dan para tokoh daerah.
Dalam membangun sebuah wadah tata sosial yang adil dan tidak
membedakan, memberikan kesempatan yang sama terhadap semua elemen masyarakat
untuk berekspresi tanpa tekanan dari pihak lain. Membangun kemampuan mereka
untuk menyadari dan berani menyuarakan kemarjinalannya, dan mampu mengevaluasi
kekurangan mereka sendiri sangat penting dalam kerangka berfikir bahwa
perubahan sosial akan menjadi lebih sehat dan memiliki daya perlawanan yang
kuat apabila tumbuh dari komunitas itu sendiri. Bukan perubahan yang dibangun dari
atau oleh pihak luar akan tetapi tumbuh dari kesadaran mereka sendiri. Dalam masyarakat sudah saatnya tarian ini kita
lestarikan dan memberikan wadah tersendiri menjadi sebuah kesenian yang
membanggakan di pentas Nasional maupun Intenasional.
Foto : Gandrung Banyuwangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar