Minggu, 14 Juli 2013

Gandrung Menjadi Icon Banyuwangi


Tarian menjadi sebuah simbol dari sebuah kota adalah sebuah gagasan unik dimana para pelaku seni di dalamna meruppakan hasil dari wujud dari kebanggaan tiap daerah. Seiring berjalannya waktu dengan upaya pencarian identitas daerah yang mulai dilakukan pemerintah daerah sejak awal tahun 70-an. Gandrung menjadi kesenian masyarakat Using yang dianggap sebagai masyarakat asli Banyuwangi menjadi pilihan yang paling gampang dari pada kesenian-kesenian lainnya. Aalasan-alasan lain yaitu mengenai penampilan dan peran gandrung lebih menarik dibanding angklung caruk yang seluruh pemainnya laki-laki, gandrung juga lebih populer dibanding kesenian-kesenian lainnya. Maka jadilah gandrung yang awalnya hanya dikenal di lingkungan masyarakat petani, perkebunan, nelayan yang erat dengan ritual, ditarik oleh negara menjadi identitas daerah yang sepenuhnya profan.
Gandrung tidak bisa lepas dari Banyuwangi mengingat wilayah ini merupakan multi etnik. Di dalam budaya yang heterogen, wilayahnya cenderung diserang oleh kebudayaan baru yang masuk kedalamnya. Hal ini menjadikan Gandrung berada dalam posisi tarik ulur dan diperdebatkan oleh kekuatan sekitarnya. Hal yang merupakan kekuatan tidak hanya dalam pengertian negara atau pemerintah daerah, melainkan juga wacana dominan dan nilai-nilai yang disepakati masyarakat dari berbagai presepsi dan analisanya. Dalam hal ini agamawan dengan teksnya sendiri soal ukuran-ukuran moral, budayawan dengan teksnya sendiri yaitu gandrung sebagai warisan sejarah yang luhur, negara dengan teksnya sendiri gandrung sebagai alat negara, semuanya berebut dan berpilin dengan kekuatannya masing-masing.
Perdebatan ini berjalan terus walau tidak secara terbuka, tetapi menimbulkan gonjang ganjing di lingkup masyarakat. Kasus dibongkarnya patung gandrung di pelabuhan Ketapang atas permintaan kaum agamawan Ketapang menunjukkan hal itu. Dalam kasus ini melibatkan juga anggota DPRD yang harus turun meninjau dan menindaklanjuti pengaduan keberatan masyarakat atas adanya patung gandrung yang berada tepat di depan masjid walau sebenarnya masih dalam area pelabuhan. Namun peran dominan negara dan wacana identitas daerah mengalahkan wacana-wacana kontra. Beberapa perdebatan dan pergolakan muncul dari berbagai pihak yang saling menginginkan untuk kepentingan masing-masing golongan.
Di tengah-tengah polemik gandrung sebagai identitas Banyuwangi, SK bupati nomor 147 Tahun 2003 yang menetapkan tari jejer gandrung sebagai tari selamat datang di kabupaten Banyuwangi. Dengan demikian pemihakan terhadap gandrung yang bersifat politis menimbulkan akibat politis pula. Akibatnya ketika didirikan pusat latihan gandrung di desa Kemiren, program ini hanya berlangsung dua tahun karena pada tahun berikutnya anggarannya tidak disetujui oleh DPRD. Hal ini menimbulkan pro kontra tersendiri di kalangan elite pemerintahan dan para tokoh daerah.
Dalam membangun sebuah wadah tata sosial yang adil dan tidak membedakan, memberikan kesempatan yang sama terhadap semua elemen masyarakat untuk berekspresi tanpa tekanan dari pihak lain. Membangun kemampuan mereka untuk menyadari dan berani menyuarakan kemarjinalannya, dan mampu mengevaluasi kekurangan mereka sendiri sangat penting dalam kerangka berfikir bahwa perubahan sosial akan menjadi lebih sehat dan memiliki daya perlawanan yang kuat apabila tumbuh dari komunitas itu sendiri. Bukan perubahan yang dibangun dari atau oleh pihak luar akan tetapi tumbuh dari kesadaran mereka sendiri.  Dalam masyarakat sudah saatnya tarian ini kita lestarikan dan memberikan wadah tersendiri menjadi sebuah kesenian yang membanggakan di pentas Nasional maupun Intenasional.


                                                    Foto : Gandrung Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar